Sunday, February 28, 2010

Humas dan Media: Seperti Anjing dan Kucing

HUMAS DAN MEDIA (WARTAWAN):
SEPERTI ANJING DAN KUCING ATAU ROMEO DAN YULIET?
Oleh: Wardjito Soeharso *)
(Widyaiswara pada Badan Diklat Prov. Jateng, dan Dosen Luar Biasa pada Fak. Sastra Undip, Semarang)

Dalam organisasi modern, nampaknya kehumasan sudah menjadi suatu kebutuhan primer. Sebagai kegiatan yang banyak berkait dengan publik (internal maupun eksternal) kehumasan harus mampu menangani bagaimana menjaga hubungan yang baik dengan publik.

Dengan publik internal, yaitu semua anggota yang ada dalam organisasi, humas dituntut dapat melakukan konsolidasi agar semua anggota organisasi bergerak ke arah sama untuk mencapai tujuan organisasi

Sementara itu, dengan publik eksternal, yaitu semua stake-holders yang ada di luar organisasi, humas juga dituntut mampu menjaga hubungan, bahkan membina hubungan, agar semua stake-holder di luar dapat menerima (acceptance) keberadaan organisasi, yang selanjutnya mereka memiliki persepsi (perception), dan opini (opinion), dan akhirnya terbangun citra (image) yang baik tentang organisasi di mata publik.

Dengan demikian, tugas dan fungsi humas dalam organisasi yang terutama adalah bagaimana caranya membuat publik internal menjadi solid sehingga mudah bergerak bersama untuk memajukan organisasi; dan bagaimana caranya membuat publik eksternal semakin percaya sehingga muncul penerimaan, persepsi, opini, dan citra yang positif terhadap organisasi.

Sudah barang tentu tugas humas yang seperti itu tidaklah ringan. Karena tugas itu menyangkut eksistensi organisasi. Apabila humasnya bagus, dapat dipastikan, organisasi akan bergerak dengan enak karena ada dorongan dab dukungan penuh dari dalam dan ada penerimaan dari luar. Sebaliknya, apabila humasnya buruk, dapat dipastikan organisasi akan bergerak terseok-seok karena tidak ada dorongan dan dukungan dari dalam, dan tidak ada penerimaan dari luar.

Menyadari betapa pentingnya humas, seorang pimpinan organisasi mestinya memberdayakan humas sedemikian rupa, artinya memberinya akses yang penuh untuk melakukan tugasnya, dan sekaligus memberikan pengertian bahwa tugas dan fungsi humas itu menjadi kewajiban seluruh anggota oerganisasi untuk menjalankannya. Artinya, walaupun sudah ada bagian atau divisi tersendiri yang melakukan kegiatan kehumasan, tetapi pada dasarnya semua anggota organisasi, dari direktur utama sampai tukang sapu, memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga citra organisasi.
Salah satu kegiatan humas yang sangat penting adalah berhubungan dengan media. Media adalah partner yang utama dari humas. Dengan media humas dapat memberikan informasi setiap saat tentang berbagai kegiatan organisasi agar berita tentang organisasi muncul di media dan diketahui luas oleh masyarakat atau publik.

Jadi sudah semestinya seorang petugas humas membangun kerjasama yang baik dengan wartawan. Kerjasama itu sifatnya sinergis, saling membutuhkan, saling menguntungkan. Humas menyediakan informasi, wartawan mencari informasi, adalah hubungan yang ideal.

Namun ternyata tidaklah sesederhana itu dalam prakteknya. Sering terjadi antara petugas humas dan wartawan muncul pertentangan pendapat atau konflik. Petugas humas menginginkan informasinya dapat muncul di media setiap saat diperlukan, tetapi wartawan tidak mau memuat informasi itu di medianya.

Konflik itu muncul karena adanya perbedaan kepentingan atau orientasi antara petugas humas dan wartawan.

Media dan humas

Sudah disebutkan bahwa media memegang peranan sangat penting dalam kehumasan. Fungsi media yang utama dalam kehumasan adalah sebagai alat humas untuk menyampaikan dan menyebar-luaskan informasi atau berita kepada publik. Melalui media humas akan mampu mencapai publiknya seluas mungkin. Sifat media yang menjangkau publik dalam wilayah yang luas sangat membantu humas untuk berkomunikasi dengan publik.

Memang biasanya humas juga membuat media internal sendiri, apakah itu berupa majalah, buletin, bahkan stasiun radio, untuk berhubungan langsung dengan publik, tetapi media internal sendiri tidaklah cukup. Stake-holders yang beragam bentuk dan tempat di luar organisasi juga membutuhkan informasi atau berita, dan biasanya mereka tidak terjangkau seluruhnya oleh media internal. Dengan demikian, media lain yang ada di luar akan sangat membantu humas dalam proses penyebar-luasan informasi atau berita yang ingin disampaikannya kepada publik.

Media mainstream

Ada bermacam-macam model media. Model yang umum adalah media yang memberikan informasi atau berita kepada publik dengan gaya yang umum dan standard, dengan pertimbangan publiknya adalah seluruh lapisan masyarakat, walaupun terkadang diarahkan pada segmentasi publik yang lebih spesifik.

Model media yang umum ini menyajikan informasi atau berita dengan memakai kaidah-kaidah penyampaian berita yang dapat diterima publik, artinya beritanya adalah berita-berita yang penting untuk diketahui publik, bahasanya adalah bahasa yang mudah dicerna publik, dan format beritanya adalah format yang sudah familiar di mata publik. Media seperti ini biasa disebut sebagai media mainstream (arus utama). Contohnya adalah kompas, sinar harapan, republik, pikiran rakyat, suara merdeka, jawa pos, tempo, gatra, forum dsb (media cetak), radio republik indonesia, televisi ri, tv one, metro tv (media elektronik).

Media mainstream ini lebih menitikberatkan sajian kepada pembaca berupa berita (sebagai informasi) dan pendidikan (sebagai tambahan pengetahuan). Media seperti ini memberikan “hak untuk tahu” (the right to know} kepada masyarakat, tentang berbagai perkembangan yang terjadi. Dengan demikian, aspek hiburan hanya sebagai sajian selingan saja

Media kuning

Model media di luar media mainstream adalah yang populer dengan sebutan media kuning. Media kuning adalah media yang lebih banyak mengeksploitasi berita-berita bernuansa kekerasan (sadisme), kriminalitas, dan pornografi.

Mengapa disebut media kuning? Karena media seperti ini biasanya berbentuk koran atau majalah dengan tampilan fisik berwarna-warni, merah, hijau, biru, kuning, untuk menarik mata pembacanya. Mungkin karena dulu di negara-negara barat sana koran seperti ini dominan warna kuningnya, maka disebut koran kuning (yellow newspaper).

Di Indonesia juga banyak media kuning bermunculan, kebanyakan juga berbentuk koran, ada beberapa berupa majalah. Koran-koran ini juga mudah ditandai dengan tampilannya yang berwarna-warni, berita yang disajikan juga lebih banyak tentang pembunuhan, perampokan, perkosaan, dan berita-berita lain yang tidak jauh dari kriteria itu.

Khusus di Indonesia mungkin dapat ditambahkan koran dan majalah yang juga banyak menyajikan berita bernuansa gaib, supra-natural, magic, dsb. Pada dasarnya koran dan majalah seperti itu juga bisa dimasukkan dalam kategori media kuning.

Contoh-contoh koran ini antara lain, pos kota, terbit, meteor, seks dan kriminalitas, fakta, alam gaib, dsb

Media kuning ini lebih mengarah pada sajian berita-berita yang sensasional tapi menghibur, dengan sedikit pertimbangan sebagai sumber informasi sarana pendidikan untuk pembaca.

Media profit

Media profit adalah model media yang orientasi utamanya adalah mencari keuntungan tanpa peduli dengan kepentingan pembaca. Media seperti ini menyajikan berita dan gambar vulgar, yang menurut standard umum tidak pantas disajikan kepada publik. Media profit lebih banyak mengekspose seks dan pornografi.

Di negara-negara barat, media seperti ini sering berbentuk majalah dengan tulisan dan gambar porno, cassette dan cakram video porno. Dalam media ini hubungan seks laki-laki dan wanita ditampilkan secara vulgar, tanpa sensor, dan bahkan dengan gaya dramatisasi yang berlebihan.

Di Indonesia media profit dilarang terbit oleh undang-undang, tetapi bukan berarti media semacam ini tidak ada. Media seperti ini diterbitkan dan beredar secara gelap, karena memang dapat merusak mental dan moral pembaca, terutama yang belum dewasa dan masih di bawah umur.

Di samping media dari luar negeri yang beredar secara gelap, ternyata juga sudah ada media dalam negeri (majalah, vcd) yang berisi seks dan pornografi ini, beredar di kalangan anak muda.

Media profit ini jelas orientasi utamanya adalah hiburan, mendapatkan untung banyak, tanpa peduli akibat yang ditimbulkan olehnya.

Media baru

Media baru sering juga disebut multi media. Media ini sebagai gabungan media telekomunikasi (telepon) dengan perangkat komputer. Karena gabungan dua sistem inilah, media ini juga sering disebut sebagai media hibrida, yang populer dengan nama internet.

Media baru atau multi media ini termasuk media canggih yang daya jangkaunya tidak terbatasi oleh ruang dan waktu. Informasi tersedia lengkap disana dan dapat diakses kapan dan dimana saja, selama tersedia perangkat komputer dan jaringan telepon.

Hampir semua organisasi sekarang sudah membangun portal website (sebutan untuk isi internet milik organisasi). Karena adanya di dalam sistem komputer, internet juga sering disebut dunia maya, ada dan bisa disentuh dengan indera mata dan telinga, tetapi tidak tersentuh dengan indera lainnya.

Untuk berkomunikasi melalui internet, orang dapat melakukannya dengan menggunakan fasilitas surat elektronik (e-mail). Dengan e-mail orang dapat berkomunikasi dengan cepat, mudah, dan murah ke seluruh penjuru dunia. E-mail telah mengubah pola komunikasi manusia modern sedemikian rupa sehingga interaksi orang perorang di seluruh dunia sekarang ini semakin tinggi frekuensinya.

Di samping memberikan kecepatan dan kemudahan berkomunikasi, mempermudah mencari informasi, internet membawa pengaruh negatif yang mengerikan. Segala macam informasi tersedia di sana, sehingga orang dapat mencari informasi apa saja sesuai selera dan kebutuhannya. Tiadanya sensor memungkinkan orang mengakses informasi yang potensial membahayakan diri sendiri.

Oleh karena itu, sikap hati-hati dan waspada sangat diperlukan apabila kita ingin masuk dunia maya internet. Kita harus pandai-pandai memilih, informasi macam apa yang kita perlukan.

Dengan kata lain, media baru ini berisi lengkap, baik dari sisi informasi, edukasi, maupun hiburan, semua tersedia dan terhidang dengan bebas.

Hubungan Humas Dengan Media

Bahwa salah satu fungsi humas adalah membangun hubungan sinergis dengan media. Membangun di sini termasuk bagaimana memilih media yang tepat sebagai alat penyampai berita, sekaligus berkoordinasi dengan orang-orang media atau wartawan untuk memberikan informasi agar informasi itu dimuat sebagai berita oleh wartawan. Pilihan media yang tepat akan membuat kerja humas efektif. Sebaliknya, pilihan media yang tidak tepat akan membuat kerja humas sia-sia. Supaya pilihan media itu efektif, petugas humas harus tahu setiap ciri atau karakteristik media yang akan dipilihnya.

Oleh karena itu, dalam berhubungan dengan wartawan, petugas humas juga dituntut kejeliannya. Wartawan dari media macam apa yang harus diajak kerjasama. Yang jelas petugas humas harus membina kerjasama dengan wartawan-wartawan dari media mainstream. Sedang dengan kelompok wartawan yang tidak jelas medianya, sebaiknya petugas humas mengambil jarak, jangan terlalu dekat, karena tidak banyak makna yang diperoleh dari berhubungan dengajn mereka.

Kendala Hubungan Humas dengan Media

Sebagai dua institusi yang berbeda, sudah barang tentu humas dan media mengalami pasang surut dalam menjalin hubungan kerjanya. Suatu saat, hubungan mereka sangat mesra seperti romeo dan yuliet. Tetapi di waktu yang lain, hubungan mereka penuh diwarnai konflik seperti anjing dan kucing.

Mengapa pasang surut hubungan itu terjadi? Jawabnya hanya satu: adanya perbedaan sangat mendasar dari paradigma berpikir dan melihat persoalan yang dihadapi antara keduanya. Orientasi keduanya sangat bertentangan, terutama dalam menyikapi informasi dan berita.

Orientasi humas

Humas adalah bagian dari organisasi, yang sudah barang tentu setiap gerak langkahnya adalah manifestasi dari visi dan misi organisasinya. Apakah itu humas lembaga pemerintah atau humas lembaga non-pemerintah, semuanya memiliki tugas dan fungsi sama, yaitu membangun opini publik untuk menciptakan citra (image) positif dari lembaganya.

Karena fungsi dan tugas humas adalah menciptakan citra dengan membangun opini publik, sudah seharusnya apabila semua informasi dan berita yang bersumber dari humas adalah berita-berita yang bernuansa berita positif, berita bagus, berita kesuksesan, berita tentang prestasi, dan semacamnya.

Sangat jarang muncul berita negatif, berita buruk, berita kegagalan, yang bersumber dari humas. Kalaupun ada, berita semacam ini seringkali berbentuk ucapan maaf dan penyesalan organisasi atas kesalahannya dan berjanji untuk memperbaiki dan tidak mengulang kesalahan serupa. Walaupun isi berita bernuansa negatif, tetap saja humas seringkali mengemasnya sedemikian rupa agar tetap memberikan nilai lebih di mata publik.

Menjadi sangat wajar, apabila humas selalu berorientasi pada penyebaran berita positif, dan menghindari, bahkan menutupi berita negatif.

Prinsip humas adalah, bagaimanapun kondisi yang ada di dalam organisasi, tetapi di mata publik (wartawan dan media), organisasi harus selalu tampak bagus dan tampil meyakinkan.

Motto humas adalah: good news is good news; bad news is disaster.

Orientasi media

Kalau humas orientasinya ke dalam, bagaimana membangun citra positif organisasi dengan menyampaikan berita positif, sebaliknya media orientasinya keluar, bagaimana dapat memenuhi keingintahuan pembaca.

Pembaca adalah raja bagi media. Tanpa pembaca, media tidak berarti apa-apa. Wajar saja apabila media cenderung memanjakan pembaca dengan berita yang disajikan.

The public right to know, hak publik untuk mengetahui informasi, adalah pegangan utama media dalam menyajikan berita. Media memberikan informasi terbaru kepada pembaca tentang segala hal yang menyangkut hajat hidup publik. Jadi setiap ada informasi baru yang menyangkut kehidupan masyarakat, atau ada peristiwa yang potensial mendapatkan perhatian publik, media akan segera memburu dan memberitakannya. Kalau media tidak menyajikan berita yang memenuhi kriteria the public right to know ini, dapat dipastikan, media itu akan ditinggalkan pembaca, dan artinya itu adalah bencana bagi media.

Good news is bad news. Bagi media berita paling bagus adalah berita buruk, berita negatif, yang merangsang publik untuk mengikuti berita-berita selanjutnya. Bagi publik pun, berita yang menarik adalah berita yang bernuansa negatif, berita korupsi, bencana alam, kecelakaan, konspirasi politik, perebutan kekuasaan, dan semacamnya.

Man makes news, adalah prinsip lain dari media. Artinya, orang-orang tertentu yang sudah banyak dikenal publik, atau profesi-profesi tertentu yang cukup familiar di mata publik, dan public figures seperti pejabat, artis, adalah orang-orang yang cukup menarik untuk diberitakan. Apapun tingkah laku mereka, baik atau buruk, akan menjadi berita yang menarik bagi pembaca.

Agenda setting, adalah kemampuan media untuk membangun atau mengarahkan opini publik sesuai keinginan yang dikehendaki media. Sering terjadi sebuah koran secara berturut-turut dalam beberapa kali edisinya memuat berita tentang suatu persoalan yang sama berulang-ulang. Ini adalah usaha media untuk mengarahkan pembaca pada sebuah opini mengenai berita yang dimuatnya terus menerus. Dengan cara ini, opini publik digiring oleh media ke arah yang dikehendaki media tersebut.

Mengangkat yang lemah, menekan yang kuat, adalah juga salah satu kegemaran media. Kalau ada konflik, media cenderung membela pihak yang lemah dan menyudutkan pihak yang kuat atau berkuasa. Dalam hampir kasus sengketa antara pemerintah dan rakyat, media selalu memihak rakyat dan mengkritik pemerintah.

Motto media adalah: bad news is good news.

Konflik orientasi media dan humas

Di mata humas, berita yang ingin dimunculkan adalah berita positif, berita bagus, success story, yang dapat menggiring opini publik menuju terciptanya citra organisasi yang bagus. Di mata media, berita bagus adalah berita biasa, bahkan sering dianggap bukan berita. Berita bagus adalah berita yang kurang menantang, berita yang kurang diperhatikan publik, sehingga media meliputnya biasa-biasa saja.

Karena perbedaan orientasi inilah, sering humas dan media terlibat konflik kepentingan. Humas menutupi berita negatif, sedang wartawan memburu berita negatif. Humas senang memberikan berita positif, sedang wartawan tidak suka dengan berita positif. Humas melindungi kepentingan organisasi, wartawan memenuhi kepentingan publik. Humas cenderung berpihak pada yang kuat, wartawan cenderung membela yang lemah. Humas cenderung bekerja lamban karena harus sangat hati-hati memberikan informasi ke publik, sebaliknya media dituntut bekerja cepat untuk mencapai deadline (tenggat waktu) dan persaingan kecepatan berita dengan media lain.

Hubungan yang Harmonis Humas dengan Media

Untuk menjaga agar hubungan kerja keduanya tetap baik dan saling menguntungkan, perlu adanya langkah-langkah konkrit dari keduanya untuk mengurangi kemungkinan munculnya konflik itu.

Menjadi seorang petugas humas memang bukan hal yang mudah, demikian pula menjadi seorang wartawan juga bukan hal yang mudah. Keduanya memiliki spesifikasi tersendiri menurut tugas dan fungsinya.

Kalaupun ada perbedaan orientasi antara keduanya dalam memandang berita, hal itu semestinya tidak harus menjadikan keduanya berhadapan secara frontal dalam melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing.

Ada celah yang dapat ditembus, ada jarak yang dapat dijembatani untuk menghubungkan keduanya dalam sebuah kerjasama yang sinergis.

Keduanya perlu menanamkan kesadaran pada diri masing-masing, sebuah pemahaman dan pengertian akan tugas dan fungsinya sendiri. Bahwa humas selalu memberikan berita positif, tak perlu diingkari oleh wartawan. Bahwa wartawan selalu memburu berita negatif, harus dimengerti oleh petugas humas.

Pemahaman dan pengertian akan tugas dan fungsi masing-masing akan membantu keduanya dalam menjalin hubungan kerja. Masing-masing mengerti posisinya, dan akan saling menghargai dan menghormati ketika satu pihak tidak dapat memenuhi keinginan pihak lainnya.

Yang jelas kerjasama sinergis perlu dipertahankan terus. Humas tetap harus menjadi sumber informasi yang baik bagi wartawan. Humas harus selalu berusaha memberikan berita bernilai tinggi untuk konsumsi publik. Di sisi lain, wartawan harus tetap menjadi pencari berita yang gigih, dan menyajikan berita yang diperolehnya dari humas, kalau memang berita itu menarik untuk diketahui publik. Wartawan tidak perlu mendesak apalagi memaksa petugas humas untuk memberikan berita negatif. Kalaupun seorang wartawan memperoleh berita negatif dari sumber lain, sebaiknya tetap melakukan cross-check, konfirmasi atas akurasi berita yang diperolehnya dari sumber lain itu.

Dengan pola hubungan yang saling menghormati dan menghargai seperti itu, niscaya akan terjalin hubungan yang harmonis antara petugas humas dan wartawan. Hanya perlu dicatat, hubungan harmonis tersebut harus dilandasi kejujuran dan kepercayaan, bukan rekayasa yang biasanya diwarnai unsur penyuapan (bribery) oleh petugas humas, atau pemerasan (blackmail) oleh wartawan.

Dengan kerjasama sinergis, antara humas dan wartawan akan saling isi-mengisi, memberi-menerima, berbagi, sehingga yang muncul kemudian adalah pola hubungan (partnership) kemitraan yang saling menguntungkan.

Jadi bagaimana menjalin hubungan antara humas dan wartawan itu semuanya tergantung dari keduanya. Mau seperti anjing dan kucing, atau seperti Romeo dan Yuliet?



DAFTAR PUSTAKA


1. F. Rachmadi (1986): Public Relations, Jakarta, Gramedia.
2. Lauren Kessler; Duncan McDonald (1988): When Words Collide, A Journalist’s Guide to Grammar and Style. New York, Wardworth, Inc.
3. Memahami dan memaknai Kebebasan Pers, PWI Jateng, 2003.
4. Sedia Willing Barus (1996): Jurnalistik, Petunjuk Praktis Menulis Berita, CV. Jakarta, Mini Abadi Jaya.
5. UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Departemen Penerangan RI, 1999.
6. Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia dan Penafsirannya, PWI 1995.

Bank Desa, Mungkinkah?

BANK DESA, MUNGKINKAH?
Oleh: Wardjito Soeharso

Petani di Indonesia memang makin merana. Sudah lahannya semakin menyempit karena alih fungsi (untuk perumahan maupun industri), biaya pengolahan lahan dan harga pupuk tak sebanding dengan hasil yang dipanen, sampai keterbatasan tenaga kerja yang semakin menyusut karena urbanisasi. Lengkap sudah penderitaan petani. Tidak mengherankan, kalau dari 49% penduduk miskin Indonesia (versi Bank Dunia) sebagian besar adalah para petani di perdesaan dan para urban yang tidak berketerampilan di perkotaan.

Sudah kondisinya miskin, mereka juga tidak punya akses pada modal. Lembaga penyedia modal, seperti bank dan koperasi, tidak pernah mau sekedar melirik petani miskin. Bagaimana mungkin mereka berhubungan dengan bank dan koperasi, kalau mereka tidak punya asset untuk dijadikan jaminan pinjaman, syarat mutlak bank dan koperasi untuk mengucurkan kreditnya.

Mayoritas petani diperdesaan adalah petani penggarap, bukan petani pemilik tanah. Jadi modal kerja penggarap hanyalah waktu dan tenaga, tak berbeda dengan kuli atau buruh di sektor industri. Dengan demikian, hasil kerja mereka sepenuhnya tergantung dari ketersediaan waktu dan tenaga yang mereka miliki. Artinya, semakin banyak waktu dan tenaga yang dapat dicurahkan untuk bekerja, semakin banyak hasil yang diperoleh. Sebaliknya, semakin sedikit waktu dan tenaga yang diberikan, semakin kecil hasil yang diperoleh.

Kalau kondisinya seperti itu, apa yang terjadi kalau seorang petani penggarap tiba-tiba jatuh sakit, dan memerlukan proses pengobatan cukup lama? Praktis dia tidak dapat memberikan waktu dan tenaganya. Konsekuensinya, dia kehilangan tanah garapan dan hilang pula penghasilannya.

Padahal, penghasilan petani (baik pemilik maupun penggarap) sebenarnya tidaklah besar dibandingkan ongkos yang mereka keluarkan untuk mengolah lahan. Sebagai ilustrasi, penulis kenal seorang petani penggarap di daerah Salatiga, yang sawahnya cukup subur. Penggarap ini mengolah sawah seluas lebih kurang 3500 M2, dengan sistem bagi hasil 50:50. Penggarap yang mengolah lahan, menyediakan bibit dan pupuk. Prinsipnya, pemilik tidak tahu menahu proses pengolahan, hanya memberikan lahan sawahnya untuk digarap. Dengan sistem ini, penggarap itu berterus terang memperoleh sekitar Rp 1.5 juta tiap panen, atau Rp 3 juta per tahun. Bayangkan, seorang penggarap berpenghasilan kotor Rp250,000,00,- per bulan. Penghasilan ini untuk menghidupi keluarga, terdiri dari seorang istri dan 3 anak, yang semuanya masih sekolah.

Maka wajar saja, bila kemudian pemilik lahan pertanian lebih senang mengalih-fungsikan tanahnya menjadi perumahan atau industri karena dari bisnis itu untung yang diperoleh lebih menjanjikan. Maka wajar saja, bila kemudian banyak petani yang meninggalkan desa, pergi ke kota, karena bila beruntung dapat kerja di kota, upah yang diterima juga jauh lebih besar. Tapi bila tidak beruntung? Jadi pengangguran, gelandangan, dan kelompok marginal lainnya, yang tidak punya penghasilan tetap. Dan dalam data statistik, mereka inilah kelompok rakyat miskin yang dari waktu ke waktu menambah besar jumlah angka kemiskinan, menjadi beban sosial yang berat bagi negara.

Bank Desa

Melihat kemiskinan selayaknya dengan sudut pandang yang lebih luas. Memang petani adalah bagian terbesar dari keseluruhan rakyat miskin, tetapi tidak dapat dipungkiri, masih banyak kelompok-kelompok miskin lain, seperti nelayan yang nasibnya juga tidak kalah mengenaskan, kaum buruh dan pekerja yang lebih banyak dieksploitasi pengusaha, pedagang kecil yang terserak di pasar-pasar tradisional dan kaki lima, pengangguran seperti pengemis dan gelandangan yang berkeliaran di jalanan, dan seterusnya....

Mengapa kita tidak mencoba meniru langkah yang ditempuh oleh Muhammad Yunus, seorang Professor Ilmu Ekonomi dari Universitas Chittagong, Bangladesh? Muh. Yunus, setelah melalui riset yang panjang, berkesimpulan rakyat miskin Bangladesh semakin bertambah saja jumlahnya karena pemerintah tidak pernah secara serius memberdayakan potensi ekonominya. Di mana-mana rakyat miskin tidak pernah diberi akses menuju modal. Bank dan koperasi menutup pintu rapat-rapat untuk mereka. Ini juga terjadi di Indonesia.

Nah, Muh. Yunus melihat ketidak adilan itu. Apalagi pada tahun 1974 Bangladesh mengalami krisis pangan, rakyatnya banyak yang kelaparan. Melalui eksperimen dengan uang sebesar $27,00 atau setara Rp 275.000.00,- Muh. Yunus mencoba memberi modal kepada keluarga sangat miskin. Dengan bantuan modal yang sangat kecil itu, tanpa bunga, ternyata keluarga yang dibantunya mampu bertahan, bahkan berkembang dengan cara membuat berbagai barang konsumsi layak jual.

Dari pengalaman itu, Muh. Yunus lalu mendirikan “Grameen Bank” yang artinya Bank Untuk Orang Desa. Grameen Bank khusus melayani rakyat desa yang miskin, dengan memberikan kredit skala kecil (micro-finance) tanpa jaminan apa pun. Dan hasilnya luar biasa. Sampai Oktober 2007, tercatat nasabah bank ini berjumlah 7,34 juta, dan 97% nasabahnya ternyata adalah wanita. Nasabahnya berasal dari 80,257 desa, dengan total pinjaman senilai $6,55 Milyard.

Grameen Bank terbukti mampu mengangkat kemiskinan rakyat Bangladesh. Terbukti pula, rakyat miskin memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan diri bila diberi kesempatan, bimbingan, dan terutama akses pada modal. Pinjaman tanpa jaminan yang dilaksanakan Grameen Bank tidak membuat bank bangkrut, justru berkembang pesat. Dari total dana yang didistribusikan sebagai pinjaman itu, telah dibayar kembali oleh nasabah sebesar $5,87 Milyard. Luar biasa!

Grameen Bank tidak sekedar memberikan pinjaman kepada rakyat desa yang miskin, tetapi juga memberikan pinjaman serupa kepada pengemis dan gelandangan di perkotaan. Bayangkan, bank ini telah membuka kredit untuk 73,000
pengemis dan gelandangan dengan nilai total $833,150. Misalnya, seorang pengemis mengajukan kredit 1000 taka (uang Bangladesh) – sekitar Rp 150.000,00,- , dia hanya dibebani mencicil sebesar Rp 30.000,00,- per minggu, atau Rp 5.000,00,- per hari. Dengan uang pinjaman itu, para pengemis dapat menjual barang-barang murah sambil melakukan kegiatan mengemis di jalanan.

Apa yang dilakukan Muh. Yunus dengan Grameen Banknya ternyata disambut antusias oleh dunia. Sampai saat ini sudah ada 43 negara di dunia yang mengadopsi model pemberdayaan rakyat miskin ini. Bahkan, negara semaju Amerika Serikat, juga meniru langkah Muh.Yunus, dengan mendirikan yayasan sosial yang juga diberi nama The Grameen Foundation. Yayasan milik pemerintah AS ini telah banyak membantu rakyat miskin di berbagai negara dunia ketiga, di Afrika, Amerika Latin, dan Asia, termasuk Indonesia. Yayasan ini ikut bergerak membantu memberdayakan rakyat miskin korban tsunami di Aceh, lima tahun lalu.

Puncak dari pengakuan dunia atas kepedulian Muh. Yunus terhadap rakyat miskin adalah, diterimanya Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2006 silam. Muh.Yunus dengan Grameen Banknya telah berhasil muncul sebagai pahlawan untuk rakyat miskin di dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Rakyat miskin Aceh korban tsunami sudah merasakan manfaat bantuan model pemberdayaan ekonomi rakyat miskin ini. Walaupun bantuan itu melalui tangan asing, Yayasan Grameen dari Amerika Serikat.

Mengapa kita tidak meniru saja model pemberdayaan ekonomi untuk rakyat miskin seperti yang dilakukan Muh.Yunus dari Bangladesh ini? Kita tidak perlu malu. Sudah ada 43 negara yang mengadopsi model ini. Semuanya berhasil dengan baik, dan akhirnya Bank Dunia ikut berinisiatif membiayai proyek dengan skema model Grameen ini.

Angka kemiskinan masih sangat tinggi di Indonesia. Menurut Bank Dunia sekitar 49% rakyat Indonesia masih masuk dalam kategori miskin. Itu artinya sekitar 100 juta rakyat Indonesia masih miskin. Mereka inilah yang perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi ekonominya, salah satu caranya adalah memberikan akses pada bank untuk memperoleh pinjaman – tanpa jaminan dengan bunga ringan – sebagai modal usaha.

Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan, kata pepatah. Kalau para pemimpin negeri ini punya komitmen untuk mengangkat rakyat dari keterpurukan dan kemiskinan, tentu tidak segan untuk berguru pengalaman dari Bangladesh. Semua juga dimulai dari yang kecil. Langkah keseribu tidak akan pernah ada tanpa diawali dengan langkah pertama. Muh.Yunus juga memulainya hanya dengan modal $27.00.

Ketika membaca berita gubernur Jateng, Bibit Waluyo, mengalokasikan dana sekitar Rp 29 Milyard, untuk “branding project”-nya “Bali Ndeso Mbangun Deso”, saya berpikir, betapa akan sangat bermanfaatnya dana sebesar itu bila langsung dapat menyentuh kebutuhan mendasar rakyat miskin, yaitu: modal kerja! Kalau dana sebesar itu dijadikan modal awal untuk mendirikan Bank Desa di Jawa Tengah, lalu menerapkan perkreditan model Grameen Bank, berapa juta orang miskin di Jawa Tengah akan menggeliat, memberdayakan potensi ekonominya menuju kehidupan yang lebih sejahtera.

Apakah ini sebuah mimpi? Tidak apa-apa. Banyak realitas yang dimulai dari mimpi.
Saya tetap bermimpi Bank Desa, banknya orang miskin, ada di sini. Walau mimpi ini meng”copy” mimpi tetangga. Why not?

Tuesday, December 8, 2009

INDONESIA "RASA" AMERIKA

INDONESIA ”RASA” AMERIKA
Oleh: Wardjito Soeharso

Indonesia saat ini sedang menghadapi dilemma. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakatnya membawa dampak yang cukup serius, dilihat dari sisi politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Perubahan nilai itu sebagian besar dipicu oleh fenomena abad ke 20, yaitu derasnya arus informasi yang menyebar dari dunia Barat ke berbagai pelosok penjuru dunia, terutama ke negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Fenomena itu sering disebut: globalisasi. Karena globalisasi adalah dominasi dunia Barat terhadap Timur, maka globalisasi sering pula disebut: westernisasi. Bahkan ada pihak yang lebih ekstrem menyebut globalisasi sebagai: amerikanisasi, karena Barat itu identik dengan Amerika. Sebagai negara tunggal adikuasa, Amerika seolah menjadi kiblat dunia: perubahan politik, ekonomi, sosial budaya, yang terjadi di dunia, selalu dikaitkan dengan Amerika. Jadi tidaklah terlalu salah apabila globalisasi diidentikkan dengan amerikanisasi.

Globalisasi terjadi karena dipicu oleh perkembangan teknologi yang begitu pesat. Teknologi transportasi, informasi, dan komunikasi, dianggap paling dominan sebagai penyebabnya. Dengan transportasi, manusia sekarang memiliki mobilitas yang sangat tinggi. Teknologi transportasi membuat manusia mampu menjelajahi bumi dalam waktu relatif sangat singkat. Menjadi hal yang lumrah, sekarang ini orang makan pagi di Jakarta, makan siang di Bangkok, dan ketika menikmati makan malam, sudah berada di Paris.

Mobilitas manusia yang sangat tinggi, membuat manusia sadar atau tidak, mengikuti pola ritme kehidupannya sesuai dengan tempat dimana dia berada. Artinya, manusia masa kini cenderung menjadi manusia yang sangat fleksibel, adaptatif, mudah berubah, menyesuaikan diri dengan kebutuhan dimensi waktu dan tempatnya.

Kalau teknologi transportasi membuat manusia sangat mobil, teknologi informasi dan komunikasi membuat manusia seolah ingin lepas dari keterbatasan terhadap dimensi ruang dan waktu. Teknologi informasi dan komunikasi mengubah hidup manusia menjadi sangat mudah. Data dan informasi telah menjadi kebutuhan utama manusia, dan manusia sangat mudah mengakses data dan informasi dengan teknologi informasi dan komunikasi, Uang sebagai alat pembayar sudah digantikan dengan check dan kartu kredit. Telepon seluler semakin canggih dengan berbagai aplikasi komunikatornya, tersedia dengan harga murah, terjangkau oleh semua kelas sosial. Komputer juga semakin sempurna dengan tampilan semakin kecil dan ringan, tapi dengan kapasitas dan kemampuan yang semakin besar. Media cetak (suratkabar, majalah, buletin), media elektronik (radio, televisi), dan media hibrida (multimedia, internet), semuanya dengan mudah, murah, cepat, memenuhi kebutuhan manusia terhadap perkembangan informasi.

Ketergantungan manusia yang sangat tinggi terhadap informasi inilah yang dianggap oleh Naisbitt (1992) dan Toffler (1980) sebagai titik tolak abad 20 yang disebut abad atau era informasi. Manusia tak dapat hidup tanpa informasi. Semua pihak berlomba memproduksi informasi untuk kemudian disebar luaskan ke seluruh penjuru dunia. Akibatnya, lalu lintas informasi demikian padat. Tiada hari tanpa informasi. Dan lagi-lagi Amerika muncul sebagai juara dalam produksi dan distribusi informasi di dunia. Jadilah Amerika negara adikuasa yang sempurna: adikuasa di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, karena mampu menguasai teknologi secara simultan.

Sebaran arus informasi yang sangat kuat dari Amerika ke negara-negara berkembang, menurut Naisbitt dan Toffler membawa perubahan yang cepat pada negara-negara berkembang. Perubahan itu menyangkut perubahan peradaban, perubahan budaya, perubahan nilai-nilai. Kalau sebelumnya negara-negara berkembang dikenal sebagai negara-negara tradisional dengan nilai budaya lokal dengan ciri khasnya tersendiri, setelah arus informasi dari Amerika masuk, nilai budaya lokal itu perlahan tapi pasti mulai terkikis, tergantikan oleh nilai budaya baru (Amerika) yang lebih mengedepankan liberalisme dan materialisme, bahkan hedonisme. Tanpa dapat dicegah, negara-negara berkembang, seperti Indonesia, mengalami perubahan nilai yang cepat, dari negara tradisional menjadi negara modern dengan segala atributnya yang “berbau” Amerika.

Neo Imperialisme dalam Globalisasi

Menjadi jelas persoalan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang sekarang. Kalau era sebelumnya adalah era kekuatan fisik (physical power), dimana negara kuat memanfaatkan kekuatannya untuk menekan dan menguasai bangsa lain dengan pendudukan langsung wilayahnya – penjajahan, kolonialisme, atau imperialisme – maka di era informasi, model penguasaan seperti itu telah ditinggalkan.

Kini, penjajahan telah bermetamorfosis. Penjajahan berubah bentuk, bukan lagi penjajahan fisik, tetapi penjajahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Meyer (1988) menyebut penjajahan model baru ini sebagai cultural imperialisme – penjajahan budaya – yang dibungkus dengan istilah keren globalisasi. Tidak salah adanya persepsi globalisasi ternyata identik dengan imperialisme budaya, dan imperialisme budaya adalah bentuk baru dari penjajahan modern. Dengan kata lain, globalisasi itu tak beda dengan neo-imperialisme. Amin Rais (2008) dengan berani menuding Amerika adalah penggerak utama globalisasi yang membuat banyak negara berkembang, termasuk Indonesia terbelit dalam pusaran persoalan yang semakin rumit. Begitu pula Eko Budihardjo (mantan Rektor Undip) secara sarkastis menyindir ideologi Amerika dan negara Barat itu Greed is Good – tamak itu baik.

Bagaimana negara-negara kuat seperti Amerika menancapkan kuku-kuku kekuasaannya ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dengan bungkus globalisasi itu, dengan jelas dan tegas Meyer menjawabnya. Dominasi negara Barat (Amerika) terhadap negara berkembang dilakukan melalui 3 (tiga) jalur, yaitu ekonomi, pendidikan, dan gaya hidup.

Penetrasi Ekonomi

Meyer melihat ekonomi menjadi pilar utama bangunan globalisasi. Negara-negara Barat yang kualitas sumber daya manusianya sudah cukup baik, cerdas, dan maju, mempermudah mereka membangun ekonominya lebih kuat. Dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka lakukan langkah-langkah inovatif, membuat berbagai produk untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia modern. Industrialisasi berlangsung sangat massif. Untuk memasarkan produk industri, mereka harus mencari pasar baru dengan tingkat persaingan yang sangat sengit. Perputaran modal pun semakin besar dan cepat sehingga ekonomi bergerak menuju kapitalistik yang liberal, yang kuat jadi pemenang, homo homini lupus.

Industrialisasi membuat negara-negara Barat menjadi kaya, ekonominya kuat, bangsanya hidup makmur. Perputaran modal yang tinggi mengarahkan mata mereka tertuju pada negara-negara berkembang, yang terbelakang, ekonominya lemah, bangsanya miskin. Negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang rata-rata wilayahnya luas dengan jumlah penduduk puluhan bahkan ratusan juta, dengan sumber daya alamnya melimpah, sangat potensial dijadikan “pasar” baru bagi produk-produk industri mereka. Jadilah mereka, negara-negara Barat, berlomba memperebutkan negara-negara berkembang sebagai wilayah baru yang harus digarap dari sisi pengembangan pasar dan produk. Masalahnya, negara-negara berkembang itu dalam kondisi dibelit keterbelakangan dan kemiskinan, income per capita rendah, bagaimana mungkin mampu menjadi pasar terbuka, menyerap dan membeli hasil produksi, yang berkualitas baik dan berharga mahal?

Solusi terbaik dan tercepat adalah: memberikan pinjaman uang kepada negara-negara berkembang agar ekonominya tumbuh lebih cepat. Maka, sejak awal abad ke 20, negara-negara berkembang yang baru saja berdiri dan merdeka dari penjajahan fisik, didorong dengan iming-iming modernisasi untuk segera melakukan pembangunan di segala bidang. Berdalih membantu pembangunan, negara-negara Barat membanjiri negara-negara berkembang dengan pinjaman lunak berjangka panjang. Sementara itu, merasa dibantu, negara-negara berkembang beramai-ramai menerima pinjaman itu, kemudian membangun negaranya menjadi lebih modern. Berbagai infra-struktur dengan teknologi modern dibuat. Dengan uang pinjaman itu, negara-negara berkembang mampu menggerakkan ekonominya berputar lebih cepat. Pertumbuhan ekonomi meningkat secara signifikan. Tapi mereka kemudian terjebak. Dari kondisi miskin, tiba-tiba punya uang, walau dari hutang, sehingga banyak yang menjadi lupa. Uang yang mestinya untuk membangun bangsa dan negara, sebagian besar malah dikorupsi, dipakai untuk memperkaya diri sendiri dan kroni-kroninya.

Uang pinjaman yang banyak dan mudah didapat tentu membawa konsekuensi tersendiri. Negara-negara Barat selalu meminta konsesi untuk setiap pinjaman yang diberikan. Konsesi itu bisa berupa kebijakan ekonomi, imbal balik perdagangan barang dan jasa, otoritas pengelolaan sumber daya alam, dan seterusnya. Pada prinsipnya, negara-negara Barat akan mendikte atau memaksa negara-negara berkembang mengikuti kemauan mereka. Inilah yang disebut Meyer sebagai dominasi ekonomi. Kebijakan negara tidak lagi berorientasi kepada rakyat, tetapi lebih mengakomodasi kepentingan negara yang memberi hutang, yaitu negara-negara Barat. Misalnya, proteksi industri domestik dilarang, karena tidak sesuai dengan prinsip pasar bebas dan terbuka. Jadilah kapital dari luar masuk dengan deras. Muncul Korporasi Multi Nasional (MNC) di negara-negara berkembang. Ekonomi domestik dikuasai produk luar, kompetisi berjalan timpang, dan lagi-lagi produk barang dan jasa di tingkat lokal senantiasa kalah dan hanya menempati posisi tawar kelas dua di bawah produk luar.

Amin Rais menunjuk lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti International Monetery Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO), yang berada di bawah komando Amerika, sebagai biang keladi atau penyebab negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, berada di bawah kangkangan kekuasaan ekonomi Barat. Negara-negara berkembang benar-benar telah berhasil dibentuk sebagai wilayah pengembangan pasar baru dari berbagai produk barang, jasa, dan bahkan budaya, yang berasal dari negara Barat.

Penetrasi Pendidikan

Logikanya, sebuah bangsa tidak akan maju dan berkembang apabila tidak terdidik, tidak pintar, tidak cerdas. Negara-negara Barat mengetahui persis hal ini. Mereka tidak mungkin dapat mengubah pola konsumsi negara-negara berkembang mengikuti perkembangan produksi barang dan jasa mereka, tanpa meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karenanya, mereka juga berusaha meningkatkan kualitas pendidikan bangsa-bangsa yang ada di negara-negara berkembang.

Untuk itu, mereka mengharuskan sebagian uang pinjaman dipakai untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi dikembangkan secara luas. Beasiswa ditawarkan dengan mudah, dan berbondong-bondonglah manusia dari negara berkembang belajar menuntut ilmu dan teknologi. Harapannya adalah, semakin banyak manusia yang pintar dan cerdas, menguasai ilmu dan teknologi hasil dari pendidikan model Barat, semakin mudah dan lancar negara-negara Barat berinteraksi dengan negara-negara berkembang. Mereka tahu, pendidikan adalah sebuah proses indoktrinasi dan propaganda untuk menanamkan paradigma berpikir manusia. Dengan mengenyam pendidikan model Barat, manusia-manusia dari negara-negara berkembang menjadi terbiasa dan familiar dengan paradigma berpikir gaya manusia-manusia dari Barat.

Tidak hanya itu, pendidikan gaya Barat juga dijadikan sebagai model pendidikan di negara-negara berkembang. Mulai dari bentuk, sistem, dan metodologinya, semua menerapkan pola pendidikan gaya Barat. Tradisi pendidikan asli negeri sendiri, secara pelan-pelan digantikan dengan tradisi pendidikan Barat. Di Indonesia misalnya, model pendidikan yang dipakai saat ini adalah model pendidikan Barat, yang menawarkan paradigma berpikir berbeda dari paradigma berpikir lokal. Kita diajari mengubah pola berpikir simbolik melingkar menjadi lugas linear. Dan ketika Barat mengubah pola berpikir linear menjadi sistemik, kita pun ikut-ikutan belajar berpikir sistemik, yang populer disebut system thinking itu. Dalam diri kita sudah ditanamkan persepsi bahwa model pendidikan Barat itu lebih baik, lebih canggih, lebih modern, lebih mampu menjawab tantangan dan persoalan.

Model pendidikan lokal yang ada di Indonesia, seperti padepokan dan pesantren, karena dianggap tidak mampu menjawab tantangan jaman, mulai ditinggalkan. Padepokan sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak laku lagi karena model pembelajaran yang dipakai berprinsip “ngelmu kelakone kanti laku”, belajar itu dengan mengalami, sehingga untuk belajar siswa dituntut untuk sepenuhnya hidup dan menjalani kehidupan dalam ritme kehidupan padepokan. Sedang pesantren mampu bertahan karena ikut perkembangan jaman, mengubah model dan metodologi pembelajarannya seperti model pendidikan gaya Barat. Namanya masih pesantren, tetapi isinya, menyangkut model dan metodologi pembelajarannya, sudah mengadopsi model dan metodologi pendidkan gaya Barat. Meskipun demikian, pesantren hanya menarik minat sebagian kecil orang untuk belajar di sana. Kebanyakan orang lebih senang belajar di sekolah umum, yang segalanya sudah mewakili model pendidikan gaya Barat.

Dengan menerapkan model pendidikan Barat, negara-negara berkembang tidak hanya mempersiapkan sumber daya manusia yang pintar, cerdas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; tetapi juga sekaligus menciptakan manusia yang siap menyerap nilai-nilai baru yang melekat pada model pendidikan yang diterimanya, yaitu nilai-nilai budaya Barat. Memang, tidak semua yang datang dari Barat selalu buruk. Banyak nilai yang baik dan bermanfaat untuk pengembangan sumber daya manusia. Namun, tidak sedikit pula nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal, buruk, yang bila diterapkan akan mengubah nilai-nilai lokal, bahkan cenderung menimbulkan kontroversi dan pertentangan yang cukup tajam.

Penetrasi Gaya Hidup

Pengaruh pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat, ditambah pengaruh model pendidikan yang kuat, secara pelan dan pasti juga mengubah pola atau gaya hidup manusia yang ada di negara-negara berkembang. Gaya hidup mereka sudah tak jauh berbeda dengan gaya hidup model manusia Barat. Dari mulai gaya berpikir, bersikap, berperilaku, semuanya menyerupai manusia Barat. Mereka bergaya hidup seperti itu agar disebut sebagai manusia modern, manusia yang mengikuti trend, manusia yang tidak ketinggalan jaman.

Perubahan gaya hidup manusia di negara-negara berkembang, di samping karena pengaruh pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendidikan, juga karena pengaruh media yang sangat kuat. Media, baik cetak, elektronik, maupun multimedia, telah membombardir negara-negara berkembang dengan informasi yang luar biasa derasnya. Media lokal tak cukup hanya memberi informasi lokal, tetapi juga informasi dari luar. Media luar juga dengan leluasa masuk dan menyebar, menjadi sumber informasi yang disenangi.

Informasi yang ditawarkan media sebagian besar adalah informasi produk barang dan jasa, dan nilai budaya. Masyarakat menganggap apa yang berasal dari luar itu baik dan modern, hanya dengan proses pilah dan pilih yang cepat, langsung diterima dengan senang hati. Masyarakat jadi permisif, mudah dan cepat menyerap “barang” baru. Masyarakat menjadi konsumtif, materialistik, dan cenderung hedonistik, mengikuti kampanye gaya hidup model Barat yang gencar ditayangkan oleh media.

Kalau sudah demikian, lalu apa bedanya manusia Indonesia dengan manusia Amerika? Sekarang ini cukup banyak manusia Indonesia setiap pagi sarapan roti dan sereal, sambil membaca economic review atau time, berangkat kerja dengan kemeja berdasi, naik mobil buatan Jepang, Jerman, atau Perancis, mengikuti informasi melalui televisi CNN, NBC, mencari hiburan melalui HBO, Cinemax, atau ngedugem di pub, resto, karaoke, dan mencari teman kencan melalui internet adalah hal rutin yang dilakukan sehari-hari.

Pendek kata, tatanan nilai sosial budaya lokal mulai tergantikan dengan tatanan nilai sosial budaya baru dari luar. Semua itu sedang berproses, dan proses itu menjadikan kondisi anomali atau ketidakmenentuan atau kerancuan masyarakat dalam menerapkan nilai-nilai yang ada. Di satu sisi, nilai-nilai lama (tradisional) masih ada dan dipakai, di sisi lain, nilai-nilai baru (modern/global) mulai masuk, dikenal, dan diterapkan, sehingga muncul dualisme, ambiguitas, kecemasan, kebingungan, yang membentuk manusia lokal tidak jelas identitasnya.

Anti globalisasi

Globalisasi yang membawa pengaruh neo imperialisme (neo kolonialisme), memperoleh kritikan tajam dari banyak pihak. Ternyata tidak semua orang Barat menyetujui dan menerima munculnya globalisasi yang lebih menekankan dominasi Barat terhadap negara-negara berkembang, dengan berbagai implikasi buruknya. Stiglitz (dalam Amin Rais: 2008), misalnya, secara tajam mencerca kebijakan Amerika dengan IMF, World Bank, dan WTO, yang membuat negara-negara berkembang semakin tinggi ketergantungan ekonomi dan politiknya kepada Amerika. Stiglitz menuduh Amerika dengan sengaja “merusak” ekonomi negara-negara berkembang agar Amerika tetap muncul sebagai negara terkaya dan berkuasa di dunia. Ini dilakukan Amerika karena mereka sadar, negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin, adalah negara-negara yang punya potensi tinggi berkembang menjadi raksasa baru ekonomi dan politik, menggantikan posisinya. Itulah sebabnya, dengan segala cara Amerika berusaha agar negara-negara berkembang terus berhutang dan tergantung sepenuhnya kepada mereka.

Banyak negara-negara berkembang sudah mulai sadar akan politik globalisasi Amerika. Di Asia, Jepang mampu melepaskan diri dari bayang-bayang Amerika, hidup mandiri, bahkan berani bersaing dengan Amerika. Malaysia dan Iran, dengan tegas dan berani menyatakan akan berusaha membangun ekonominya secara mandiri, tidak bersedia lagi menerima pinjaman dari IMF dan Bank Dunia. Dari Afghanistan, Osama bin Ladeen, bersama kelompok Al-Qaeedanya, secara frontal menyatakan “perang” dengan Amerika. Di Afrika, Sudan dan Libia, sudah lama mengambil sikap tidak ingin menjadi “pengemis”, meminta-minta bantuan (hutang) kepada Barat. Di Amerika Latin, Bolivia dan Venezuela, dengan ekstrim mengecam dan melakukan kampanye konfrontatif “melawan” kekuasaan Amerika.

Di Indonesia sendiri, penolakan terhadap globalisasi dengan pengaruh buruknya juga muncul di mana-mana. Kelompok pengikut aliran tradisional kuat, dengan gigih mencoba mencegah penetrasi globalisasi, terutama yang dikaitkan dengan perubahan nilai sosial dan budaya. Ada yang melakukan perlawanan dengan santun, melakukan kampanye anti nilai asing, boikot terhadap media asing beserta isinya. Kelompok ini melakukan pilah pilih dengan seleksi media sangat ketat, bahkan ada yang mengharamkan televisi, karena melihat tayangan televisi yang lebih banyak buruknya daripada manfaatnya.

Celakanya, ada pula kelompok lain yang menyikapi perubahan itu dengan sudut pandang yang ekstrim. Dengan alasan menjaga nilai dan moralitas bangsa, kelompok ini menyatakan “perang” melawan nilai dan moral Barat yang dianggap merusak tatanan sosial budaya lokal. Menyebut beberapa contoh, Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempog (FBR), dan kelompok sejenis lainnya, sering melakukan aksi frontal, berseberangan melawan institusi pembawa nilai dan moral Barat itu. Bahkan, beberapa waktu lalu, teror bom kembali terjadi. Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton di Jakarta, dibom oleh kelompok yang, pada dasarnya, tidak menyukai Amerika dengan segala nilai modernitas yang disebarkannya.

Situasi negara-negara berkembang yang serba anomalik, bingung, dan cenderung tidak berdaya itu, nampaknya masih akan terus berlangsung dalam jangka waktu cukup lama. Dominasi negara-negara Barat masih tetap terjadi apabila tidak ada perubahan kebijakan dunia yang datang dari negara-negara Barat itu sendiri (Mowlana: 1986). Selama Barat masih terus menggelontorkan pinjaman baru kepada negara-negara berkembang dengan syarat-syarat yang menekan, sementara negara-negara pengutang itu tidak mempunyai pilihan selain menerima apa pun syarat yang diajukan, maka dominasi itu akan terus berlangsung. Globalisasi sebagai alat untuk menguasai negara-negara berkembang akan terus tetap terjadi, dengan segala implikasi buruknya.

Sebagai salah satu negara berkembang di Asia, Indonesia juga tidak dapat mengelak dari pengaruh globalisasi. Modernisasi yang diperkenalkan kepada rakyat sebagai pembangunan berkelanjutan, ternyata membawa pengaruh yang tidak berbeda dengan yang terjadi di negara-negara lain. Amerika menjadi negara Barat yang menjadi kiblat. Utang Indonesia kepada IMF dan World Bank juga semakin bertumpuk, karena defisit anggaran setiap tahun, lebih sering ditutup dengan menggali utang baru. Emmy Hafid, et.al (2000) menyebut Indonesia sudah sampai pada tahap addicted to loan – ketagihan berhutang. Memang nyatanya Indonesia sudah menggali hutang cukup besar, sekitar US $136 Milyar, dan ini menjadi beban cukup tinggi bagi APBN. Debt Service Ratio untuk cicilan dan bunga telah mencapai 37% dari total APBN (Reihard Hutapea: 2005).

Ekonomi Indonesia yang berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Amerika membuat pemerintah nampak sering ragu-ragu dalam menetapkan kebijakan politik dan ekonomi. Dengan geram Amin Rais (2008) menuding berbagai kebijakan pemerintah lebih mengakomodasi kepentingan Amerika daripada menyejahterakan rakyat.

Demikian pula, tatanan sosial budaya di Indonesia ikut mengalami perubahan cukup cepat mengikuti derasnya arus globalisasi. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang berdasarkan filosofi Pancasila semakin hari semakin dilupakan (Wardjito: 2008). Nilai-nilai baru yang dibawa globalisasi, bebas dan egaliter, sekuler dan hedonistik, lebih menarik dan mulai tampak nyata dipakai sebagai nilai untuk mengukur pola pikir dan pola sikap seseorang.

Perubahan itu sudah terjadi dan terus berlangsung. Dunia berubah menjadi satu desa besar dengan satu budaya. Kalau bangsa Indonesia tidak waspada dan tidak segera mengambil sikap untuk menahan percepatan laju perubahan, terutama perubahan nilai budaya, dikhawatirkan masa depan bangsa Indonesia akan semakin buram, wajah Indonesia semakin tidak jelas bentuknya. Bangsa Indonesia akan kehilangan identitasnya, kehilangan keunikan jatidirinya. Padahal, keunikan jatidiri yang disebut budaya itulah satu-satunya milik kita, kekayaan kita, yang paling berharga hingga saat ini.




REFERENSI

Budihardjo, Eko. (2008): Bali Ndesa Mbangun Desa. Dalam Suara Merdeka: Minggu, 2 November, 2008.

Federspiel, H.M. (1992): Muslim Intellectuals and National Development in Indonesia. New York, NY: Nova Science Publishers, Inc.

Hafid, Emmy, et.al (2000): Addicted to Loan: The World Bank Foot Prints in Indonesia. Jakarta: WALHI

Hutapea, Reinhard. (2005): Dampak Hutang Luar Negeri terhadap Ekonomi Politik Indonesia. Jakarta: Universitas 17 Agustus 1945.

Meyer, W.H. (1988): Transnational Media and Third World Development: The Structure and Impact of Imperialism. New York, NY: Greenwood Press.

Mowlana, H. (1986): Global Information and World Communication: New Frontiers in International Relations. New York, NY: Longman, Inc.

Naisbitt, J. (1982): Megatrends: Ten New Directions Transforming Our Lives. New York, NY: Warner Books.

________; Aburdene, P. (1990): Megatrends 2000: Ten New Directions for the 1990's.New York, NY: Warner Books.

Rais, Amin. (2008): Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK Press.

Schiller, H.I. (1976): Communication and Cultural Domination. New York, NY: M.E. Sharpe, Inc.


Soeharso, Wardjito (1994): National Culture and Their Socio-Political Implications: Media and Cultural Imperialism: The Indonesian Experience. Boston, MA: College of Communication, Boston University Press.

_______________. (2008): Nilai-Nilai Pancasila: Mampukah Menjawab Tantangan Jaman? Semarang: Unpublished.

Toffler, A. (1980): The Third Wave. New York, NY: William Morrow and Co, Inc.

Wednesday, November 25, 2009

Puisi-puisi Wardjito Soeharso

Wardjito Soeharso, lahir di Salatiga, 19 Januari 1958. Sejak kecil suka baca komik dan cerita silat. Ketika kuliah di Fak. Sastra UNDIP, dia mulai aktif menulis puisi dan naskah drama. Puisi-puisinya pernah dibukukan dalam antologi: Mendung Di Atas Kota Semarang (1983), Antologi Puisi Penulismuda (2007), Dan akhir-akhir ini mulai serius menulis buku. Dua buku sudah terbit, yaitu: Yuk! Nulis Puisi dan Yuk, Nulis Artikel (2009). Sehari-hari sibuk bekerja sebagai widyaiswara di Badan Diklat Prov. Jateng.

______________________________________________________________


Puisi-puisi Wardjito Soeharso



MAKAN MALAM


Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 20:00.

Saat keluarga untuk makan malam bersama.

Saya, isteri, dan anak-anak duduk

mengelilingi meja makan, siap menyantap

hidangan yang kelihatannya sangat mengundang selera.


Ada bakul nasi di ujung meja,

mangkuk sup di tengah,

ada pinggan berisi empal daging sapi,

tempe goreng, dan tak ketinggalan

sebuah cobek berisi penuh sambal terasi.

Sementara di ujung meja yang lain,

sekeranjang buah apel segar

begitu menantang.


Di antara buah apel itu,

terselip pisau tajam mengkilap

yang mengingatkan aku

pada berita tentang pembunuhan

di televisi petang tadi.


Tiba-tiba saja selera makan malamku

hilang entah ke mana



HATI SEPI


Mendung

gelap pekat

Langit

akan runtuh


Hujan rintik

gelap sambut malam

sunyi iring sepi


Katak

pun enggan

bernyanyi



KITA SEMUA PEWARIS QOBIL


boleh jadi kita semua adalah pewaris nafsu serakah Qobil

yang dengan tenangnya mampu membunuh Habil,

hanya karena iri dan dengki melihat keberhasilan

saudara sendiri.


boleh jadi darah dingin Q!obil mengalir di tubuh-tubuh kita

sampai kita tega saling tikam hanya karena tak suka melihat

kebahagiaan teman dan tetangga.


boleh jadi jahatnya Qobil merasuk dalam jiwa kita

hingga kita selalu menatap curiga setiap mata

yang melihat ke arah kita.


Habil!

andai kau tak harus mati di tangan saudaramu

aku ingin jadi seorang pewarismu

pemeluk ketulusan

pecinta kejujuran.



SAJAK INDONESIA BERDUKA

Setiap hari kaki berdiri di depanmu,
mulut nyerocos tak henti-henti begini:
"korupsi itu jahat! korupsi itu laknat! korupsi itu budaya, bukan agama!"
setiap hari pula mata dan telingaku menangkap berita di koran dan televisi saudara-saudaramu banyak ditangkapi polisi
karena korupsi!

berita di koran dan televisi, selalu saja membuatku bersedih,
kemana lagi aku menghibur diri?

kalau semua orang sudah berubah jadi pelawak
tertawa ngakak melihat kemiskinan dan kebodohan
topeng yang mana lagi mesti dipasang
untuk tunjukkan kesusahan?

nation character building,
membangun jatidiri bangsa!
waduh! identitas manusia indonesia sekarang kayak apa ya?
ketika aku bercermin, di sana ada gambar
sosok manusia dengan kosmetika globalisme,
baju internasionalisme, dan perilaku hedonisme!
Inilah identitasku saat ini:
Hidup Bangsa Indonesia!

lihat saja para politikus dan birokrat di televisi
lah! apa beda mereka dengan Indonesian idol?
kan sama-sama bertanding
untuk bersuara semerdu mungkin di depan rakyat.
mereka itu kayaknya belum pernah mendengar
kasak-kusuk rakyat yang bunyinya begini:
korupsi di negeri ini
kian hari kian menjadi
apa yang tak ada di negeri ini.
presiden korupsi, ada walau sudah mati
menteri korupsi, banyak yang masih meringkuk di bui
gubernur korupsi, banyak yang belum diadili
bupati dan walikota korupsi, banyak yang masih antri


birokrat dan politisi ramai-ramai korupsi
ditangkap satu
muncul seribu

birokrat dan politisi keparat
rakyat melarat...

berita di koran dan televisi, selalu saja membuatku bersedih,
kemana lagi aku menghibur diri?

berikan aku kacamata hitam itu,
biar kulihat sekelilingku semakin kelam,
mbelgedes telek benjret....
tanpa kacamata hitam pun, ternyata dunia sudah begitu legam,

Aku tidak ingin Indonesia tenggelam.

Srondol, 2 Juli 2009.



Tribute To : WS Rendra (Si Burung Merak)

BURUNG MERAK ITU TERBANG TINGGI

Burung Merak itu terbang tinggi
Mengangkasa menembus awan
Menuju singgasananya
Di surga para pujangga.

Burung Merak itu menjauh pergi
kembali ke dekapan bumi
Menikmati indahnya aroma cinta
Tanah harapan bunda perwira.

Burung Merak itu beri isyarat berpisah
Lambaikan tangan, sunggingkan senyuman
Mata cemerlang, bibir bergumam:
"Selamat tinggal sastrawan-sastrawan muda.
Aku pergi, tak berarti dunia jadi sepi".

Burung Merak itu terus melangkah
Jauh, jauh, jauh....
Tampak tubuhnya menghilang bentuk
Tinggal pendar kerlip cahaya
Dari jauh di depan sana
Bergaung lirih bisik jiwanya:
"Aku Cinta PadaMu, Tuhan".

Korupsi Itu Bau Kentut

KORUPSI ITU BAU KENTUT
Oleh: Wardjito Soeharso


Korupsi itu bau kentut.
Ibaratnya, di suatu ruangan berkumpul para penguasa,
tercium bau kentut.
Mereka tahu, ruangan bau kentut,
tapi karena mereka juga tahu,
yang kentut adalah mereka sendiri,
ya dengan senang hati,
bau kentut itu mereka nikmati.

Begitulah, karena lebih banyak yang kentut,
ruangan itu menjadi ruangan yang selalu berbau kentut.
Bau kentut sudah menempel di seluruh bagian ruangan itu.
Dinding, lantai, atap, pintu, jendela, meja, kursi,
bahkan tubuh mereka pun sudah meruapkan bau kentut,
karena bau kentut sudah menyatu dengan keringat di tubuh mereka.

Dan karena semua sudah bau kentut,
hidung mereka menjadi tidak sensitif alias kebal terhadap bau kentut.
Bau kentut sudah bukan bau di dalam hidung mereka.
Bagi mereka, kentut bukan lagi aib.
Toh, tiap hari mereka kentut bersama,
dan bersama pula menikmati baunya.
Memang ada satu-dua yang tidak ikut-ikutan kentut,
tapi karena ruangan sudah begitu bau,
walau pun bau itu belum sampai menyatu dengan keringat di tubuhnya,
bau itu ikut menempel di baju mereka.
Alhasil, ke mana pun mereka pergi,
selama masih memakai baju itu,
bau kentut itu masih tercium juga,
dan tetap saja mereka dicurigai penguasa yang suka kentut.

Sementara itu, rakyat yang berada di luar ruangan,
tahu belaka kalau ruangan penguasa itu menyebarkan bau kentut.
Ketika para penguasa itu keluar ruangan dan berkumpul dengan rakyat,
aroma kentut dengan jelas tercium oleh hidung rakyat.
Cuma, rakyat tidak punya bukti untuk menuding
penguasa mana yang sudah kentut.
Bagaimana rakyat bisa menuding kalau ketika kentut tidak berbunyi?
Itulah masalahnya!
Mereka selalu kentut dengan diam-diam.
Jadi, di antara mereka sudah ada semacam kesepakatan
: boleh kentut kapan saja,
tetapi kentut itu tidak boleh berbunyi.
Kalau yang mendengar bunyi kentut itu
kawan-kawan sendiri sesama penguasa,
mereka bisa saling memaklumi.
Lha, kalau yang mendengar bunyi kentut itu rakyat?
Bisa runyam akhirnya.
Rakyat jadi punya bukti otentik dan obyektif,
siapa yang benar-benar sudah kentut,
dan yang ketahuan bunyi kentutnya akan dituding beramai-ramai.
Dihujat, dimaki, bahkan diadili hingga masuk bui.

Begitulah yang terjadi.
Para penguasa tidak takut kentut selama tidak berbunyi.
Rakyat boleh tahu mereka kentut,
tapi tidak boleh tahu siapa yang benar-benar kentut.
Bunyi kentut sangat dihindari karena bisa menjadi bukti.

***

Hari-hari ini, bau kentut itu menyengat sekali.
Rakyat sudah merasa muak dengan bau kentut.
Rakyat marah melihat para penguasa yang masih saja tidak mengakui
bau kentutnya sudah mencemari seluruh negeri.
Ketika rakyat menuding,
mereka malah ganti saling tuding-tudingan di antara mereka sendiri.
Saya tidak kentut, dia, dia, dia, dan dia, yang kentut,
sambil tangannya tuding kanan, kiri, depan, dan belakang.
Jadilah mereka sekarang tuding-tudingan,
saling tuduh sebagai biang kentut.
Mereka tidak sadar, ketika bicara pun,
mulut mereka ternyata juga sudah meruapkan bau kentut,
tidak kalah busuknya dengan bau yang keluar dari lubang kentut.
Kalau sudah seperti itu,
apa lagi bedanya lubang mulut dengan lubang kentut?

Dan rakyat dibuat lebih tergagap-gagap,
ketika ada pengusaha yang terus terang mengaku
sudah sejak lama mensuplai dana kepada para penguasa.
Pengusaha ini dengan lantang bilang,
bahwa dia sudah memberi penguasa upeti berkeranjang-keranjang.
Dia beralasan, upeti itu sebagai pelicin
agar dia, saudara, dan teman-temannya,
bisa berusaha dengan aman.
Bahkan, bila memungkinkan, dia dan kelompoknya
mendapatkan kesempatan menggelar usahanya
persis di depan pintu ruangan.
Pengusaha adalah pengusaha.
Dia selalu saja mencari untung,
tidak peduli orang lain buntung.
Dia juga tidak peduli,
bila upeti yang diberikan membuat penguasa khianat kepada rakyat.
Hebat bukan? Fantastis! Bombastis!

Sekarang rakyat tahu,
ada hubungan apa antara penguasa dan pengusaha.
Ternyata memang ada kolusi di antara mereka.
Sudah sekian lama pengusaha mencekoki penguasa dengan upeti!
Pantas saja, di mana ada penguasa, di situ ada pengusaha.
Ibarat dua sisi mata uang,
penguasa dan pengusaha menyatu dalam keping yang sama.

***

Maka, ketika rakyat menggugat agar penguasa tidak kentut lagi,
mereka bingung sendiri.
Walau badan bau kentut, mulut bau kentut, baju bau kentut, rumah bau kentut,
hidung mereka tidak pernah mencium bau kentut.
Bau kentut sudah menjadi bagian dari diri mereka,
bagian dari hidup mereka.
Walau rakyat teriak mereka bau kentut,
mereka tidak peduli.
Di hidung mereka,
bau kentut sudah berubah menjadi parfum wangi.

Kalau sudah begini, masihkah ada solusi?
Tentu ada!
Rakyat harus berani.
Berani bersikap dan bilang, tidak ingin lagi bau kentut mencemari negeri.
Rakyat harus berani.
Penguasa yang sudah ketahuan kentutnya berbunyi, harus diganti.
Penguasa yang mulutnya bau kentut, harus dicabut.
Rakyat harus berani.
Pengusaha yang suka memberi upeti, harus ditangkap, diadili, dijebloskan ke bui, dan bila perlu dihukum mati.

Sekaranglah saat yang tepat rakyat menabuh genderang perang.
Perang melawan korupsi.
“Say no to corruption!
Bilang tidak untuk bau kentut!



----------------------------------------------------------------------------------------------