Tuesday, December 8, 2009

INDONESIA "RASA" AMERIKA

INDONESIA ”RASA” AMERIKA
Oleh: Wardjito Soeharso

Indonesia saat ini sedang menghadapi dilemma. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakatnya membawa dampak yang cukup serius, dilihat dari sisi politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Perubahan nilai itu sebagian besar dipicu oleh fenomena abad ke 20, yaitu derasnya arus informasi yang menyebar dari dunia Barat ke berbagai pelosok penjuru dunia, terutama ke negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Fenomena itu sering disebut: globalisasi. Karena globalisasi adalah dominasi dunia Barat terhadap Timur, maka globalisasi sering pula disebut: westernisasi. Bahkan ada pihak yang lebih ekstrem menyebut globalisasi sebagai: amerikanisasi, karena Barat itu identik dengan Amerika. Sebagai negara tunggal adikuasa, Amerika seolah menjadi kiblat dunia: perubahan politik, ekonomi, sosial budaya, yang terjadi di dunia, selalu dikaitkan dengan Amerika. Jadi tidaklah terlalu salah apabila globalisasi diidentikkan dengan amerikanisasi.

Globalisasi terjadi karena dipicu oleh perkembangan teknologi yang begitu pesat. Teknologi transportasi, informasi, dan komunikasi, dianggap paling dominan sebagai penyebabnya. Dengan transportasi, manusia sekarang memiliki mobilitas yang sangat tinggi. Teknologi transportasi membuat manusia mampu menjelajahi bumi dalam waktu relatif sangat singkat. Menjadi hal yang lumrah, sekarang ini orang makan pagi di Jakarta, makan siang di Bangkok, dan ketika menikmati makan malam, sudah berada di Paris.

Mobilitas manusia yang sangat tinggi, membuat manusia sadar atau tidak, mengikuti pola ritme kehidupannya sesuai dengan tempat dimana dia berada. Artinya, manusia masa kini cenderung menjadi manusia yang sangat fleksibel, adaptatif, mudah berubah, menyesuaikan diri dengan kebutuhan dimensi waktu dan tempatnya.

Kalau teknologi transportasi membuat manusia sangat mobil, teknologi informasi dan komunikasi membuat manusia seolah ingin lepas dari keterbatasan terhadap dimensi ruang dan waktu. Teknologi informasi dan komunikasi mengubah hidup manusia menjadi sangat mudah. Data dan informasi telah menjadi kebutuhan utama manusia, dan manusia sangat mudah mengakses data dan informasi dengan teknologi informasi dan komunikasi, Uang sebagai alat pembayar sudah digantikan dengan check dan kartu kredit. Telepon seluler semakin canggih dengan berbagai aplikasi komunikatornya, tersedia dengan harga murah, terjangkau oleh semua kelas sosial. Komputer juga semakin sempurna dengan tampilan semakin kecil dan ringan, tapi dengan kapasitas dan kemampuan yang semakin besar. Media cetak (suratkabar, majalah, buletin), media elektronik (radio, televisi), dan media hibrida (multimedia, internet), semuanya dengan mudah, murah, cepat, memenuhi kebutuhan manusia terhadap perkembangan informasi.

Ketergantungan manusia yang sangat tinggi terhadap informasi inilah yang dianggap oleh Naisbitt (1992) dan Toffler (1980) sebagai titik tolak abad 20 yang disebut abad atau era informasi. Manusia tak dapat hidup tanpa informasi. Semua pihak berlomba memproduksi informasi untuk kemudian disebar luaskan ke seluruh penjuru dunia. Akibatnya, lalu lintas informasi demikian padat. Tiada hari tanpa informasi. Dan lagi-lagi Amerika muncul sebagai juara dalam produksi dan distribusi informasi di dunia. Jadilah Amerika negara adikuasa yang sempurna: adikuasa di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, karena mampu menguasai teknologi secara simultan.

Sebaran arus informasi yang sangat kuat dari Amerika ke negara-negara berkembang, menurut Naisbitt dan Toffler membawa perubahan yang cepat pada negara-negara berkembang. Perubahan itu menyangkut perubahan peradaban, perubahan budaya, perubahan nilai-nilai. Kalau sebelumnya negara-negara berkembang dikenal sebagai negara-negara tradisional dengan nilai budaya lokal dengan ciri khasnya tersendiri, setelah arus informasi dari Amerika masuk, nilai budaya lokal itu perlahan tapi pasti mulai terkikis, tergantikan oleh nilai budaya baru (Amerika) yang lebih mengedepankan liberalisme dan materialisme, bahkan hedonisme. Tanpa dapat dicegah, negara-negara berkembang, seperti Indonesia, mengalami perubahan nilai yang cepat, dari negara tradisional menjadi negara modern dengan segala atributnya yang “berbau” Amerika.

Neo Imperialisme dalam Globalisasi

Menjadi jelas persoalan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang sekarang. Kalau era sebelumnya adalah era kekuatan fisik (physical power), dimana negara kuat memanfaatkan kekuatannya untuk menekan dan menguasai bangsa lain dengan pendudukan langsung wilayahnya – penjajahan, kolonialisme, atau imperialisme – maka di era informasi, model penguasaan seperti itu telah ditinggalkan.

Kini, penjajahan telah bermetamorfosis. Penjajahan berubah bentuk, bukan lagi penjajahan fisik, tetapi penjajahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Meyer (1988) menyebut penjajahan model baru ini sebagai cultural imperialisme – penjajahan budaya – yang dibungkus dengan istilah keren globalisasi. Tidak salah adanya persepsi globalisasi ternyata identik dengan imperialisme budaya, dan imperialisme budaya adalah bentuk baru dari penjajahan modern. Dengan kata lain, globalisasi itu tak beda dengan neo-imperialisme. Amin Rais (2008) dengan berani menuding Amerika adalah penggerak utama globalisasi yang membuat banyak negara berkembang, termasuk Indonesia terbelit dalam pusaran persoalan yang semakin rumit. Begitu pula Eko Budihardjo (mantan Rektor Undip) secara sarkastis menyindir ideologi Amerika dan negara Barat itu Greed is Good – tamak itu baik.

Bagaimana negara-negara kuat seperti Amerika menancapkan kuku-kuku kekuasaannya ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dengan bungkus globalisasi itu, dengan jelas dan tegas Meyer menjawabnya. Dominasi negara Barat (Amerika) terhadap negara berkembang dilakukan melalui 3 (tiga) jalur, yaitu ekonomi, pendidikan, dan gaya hidup.

Penetrasi Ekonomi

Meyer melihat ekonomi menjadi pilar utama bangunan globalisasi. Negara-negara Barat yang kualitas sumber daya manusianya sudah cukup baik, cerdas, dan maju, mempermudah mereka membangun ekonominya lebih kuat. Dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka lakukan langkah-langkah inovatif, membuat berbagai produk untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia modern. Industrialisasi berlangsung sangat massif. Untuk memasarkan produk industri, mereka harus mencari pasar baru dengan tingkat persaingan yang sangat sengit. Perputaran modal pun semakin besar dan cepat sehingga ekonomi bergerak menuju kapitalistik yang liberal, yang kuat jadi pemenang, homo homini lupus.

Industrialisasi membuat negara-negara Barat menjadi kaya, ekonominya kuat, bangsanya hidup makmur. Perputaran modal yang tinggi mengarahkan mata mereka tertuju pada negara-negara berkembang, yang terbelakang, ekonominya lemah, bangsanya miskin. Negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang rata-rata wilayahnya luas dengan jumlah penduduk puluhan bahkan ratusan juta, dengan sumber daya alamnya melimpah, sangat potensial dijadikan “pasar” baru bagi produk-produk industri mereka. Jadilah mereka, negara-negara Barat, berlomba memperebutkan negara-negara berkembang sebagai wilayah baru yang harus digarap dari sisi pengembangan pasar dan produk. Masalahnya, negara-negara berkembang itu dalam kondisi dibelit keterbelakangan dan kemiskinan, income per capita rendah, bagaimana mungkin mampu menjadi pasar terbuka, menyerap dan membeli hasil produksi, yang berkualitas baik dan berharga mahal?

Solusi terbaik dan tercepat adalah: memberikan pinjaman uang kepada negara-negara berkembang agar ekonominya tumbuh lebih cepat. Maka, sejak awal abad ke 20, negara-negara berkembang yang baru saja berdiri dan merdeka dari penjajahan fisik, didorong dengan iming-iming modernisasi untuk segera melakukan pembangunan di segala bidang. Berdalih membantu pembangunan, negara-negara Barat membanjiri negara-negara berkembang dengan pinjaman lunak berjangka panjang. Sementara itu, merasa dibantu, negara-negara berkembang beramai-ramai menerima pinjaman itu, kemudian membangun negaranya menjadi lebih modern. Berbagai infra-struktur dengan teknologi modern dibuat. Dengan uang pinjaman itu, negara-negara berkembang mampu menggerakkan ekonominya berputar lebih cepat. Pertumbuhan ekonomi meningkat secara signifikan. Tapi mereka kemudian terjebak. Dari kondisi miskin, tiba-tiba punya uang, walau dari hutang, sehingga banyak yang menjadi lupa. Uang yang mestinya untuk membangun bangsa dan negara, sebagian besar malah dikorupsi, dipakai untuk memperkaya diri sendiri dan kroni-kroninya.

Uang pinjaman yang banyak dan mudah didapat tentu membawa konsekuensi tersendiri. Negara-negara Barat selalu meminta konsesi untuk setiap pinjaman yang diberikan. Konsesi itu bisa berupa kebijakan ekonomi, imbal balik perdagangan barang dan jasa, otoritas pengelolaan sumber daya alam, dan seterusnya. Pada prinsipnya, negara-negara Barat akan mendikte atau memaksa negara-negara berkembang mengikuti kemauan mereka. Inilah yang disebut Meyer sebagai dominasi ekonomi. Kebijakan negara tidak lagi berorientasi kepada rakyat, tetapi lebih mengakomodasi kepentingan negara yang memberi hutang, yaitu negara-negara Barat. Misalnya, proteksi industri domestik dilarang, karena tidak sesuai dengan prinsip pasar bebas dan terbuka. Jadilah kapital dari luar masuk dengan deras. Muncul Korporasi Multi Nasional (MNC) di negara-negara berkembang. Ekonomi domestik dikuasai produk luar, kompetisi berjalan timpang, dan lagi-lagi produk barang dan jasa di tingkat lokal senantiasa kalah dan hanya menempati posisi tawar kelas dua di bawah produk luar.

Amin Rais menunjuk lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti International Monetery Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO), yang berada di bawah komando Amerika, sebagai biang keladi atau penyebab negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, berada di bawah kangkangan kekuasaan ekonomi Barat. Negara-negara berkembang benar-benar telah berhasil dibentuk sebagai wilayah pengembangan pasar baru dari berbagai produk barang, jasa, dan bahkan budaya, yang berasal dari negara Barat.

Penetrasi Pendidikan

Logikanya, sebuah bangsa tidak akan maju dan berkembang apabila tidak terdidik, tidak pintar, tidak cerdas. Negara-negara Barat mengetahui persis hal ini. Mereka tidak mungkin dapat mengubah pola konsumsi negara-negara berkembang mengikuti perkembangan produksi barang dan jasa mereka, tanpa meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karenanya, mereka juga berusaha meningkatkan kualitas pendidikan bangsa-bangsa yang ada di negara-negara berkembang.

Untuk itu, mereka mengharuskan sebagian uang pinjaman dipakai untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi dikembangkan secara luas. Beasiswa ditawarkan dengan mudah, dan berbondong-bondonglah manusia dari negara berkembang belajar menuntut ilmu dan teknologi. Harapannya adalah, semakin banyak manusia yang pintar dan cerdas, menguasai ilmu dan teknologi hasil dari pendidikan model Barat, semakin mudah dan lancar negara-negara Barat berinteraksi dengan negara-negara berkembang. Mereka tahu, pendidikan adalah sebuah proses indoktrinasi dan propaganda untuk menanamkan paradigma berpikir manusia. Dengan mengenyam pendidikan model Barat, manusia-manusia dari negara-negara berkembang menjadi terbiasa dan familiar dengan paradigma berpikir gaya manusia-manusia dari Barat.

Tidak hanya itu, pendidikan gaya Barat juga dijadikan sebagai model pendidikan di negara-negara berkembang. Mulai dari bentuk, sistem, dan metodologinya, semua menerapkan pola pendidikan gaya Barat. Tradisi pendidikan asli negeri sendiri, secara pelan-pelan digantikan dengan tradisi pendidikan Barat. Di Indonesia misalnya, model pendidikan yang dipakai saat ini adalah model pendidikan Barat, yang menawarkan paradigma berpikir berbeda dari paradigma berpikir lokal. Kita diajari mengubah pola berpikir simbolik melingkar menjadi lugas linear. Dan ketika Barat mengubah pola berpikir linear menjadi sistemik, kita pun ikut-ikutan belajar berpikir sistemik, yang populer disebut system thinking itu. Dalam diri kita sudah ditanamkan persepsi bahwa model pendidikan Barat itu lebih baik, lebih canggih, lebih modern, lebih mampu menjawab tantangan dan persoalan.

Model pendidikan lokal yang ada di Indonesia, seperti padepokan dan pesantren, karena dianggap tidak mampu menjawab tantangan jaman, mulai ditinggalkan. Padepokan sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak laku lagi karena model pembelajaran yang dipakai berprinsip “ngelmu kelakone kanti laku”, belajar itu dengan mengalami, sehingga untuk belajar siswa dituntut untuk sepenuhnya hidup dan menjalani kehidupan dalam ritme kehidupan padepokan. Sedang pesantren mampu bertahan karena ikut perkembangan jaman, mengubah model dan metodologi pembelajarannya seperti model pendidikan gaya Barat. Namanya masih pesantren, tetapi isinya, menyangkut model dan metodologi pembelajarannya, sudah mengadopsi model dan metodologi pendidkan gaya Barat. Meskipun demikian, pesantren hanya menarik minat sebagian kecil orang untuk belajar di sana. Kebanyakan orang lebih senang belajar di sekolah umum, yang segalanya sudah mewakili model pendidikan gaya Barat.

Dengan menerapkan model pendidikan Barat, negara-negara berkembang tidak hanya mempersiapkan sumber daya manusia yang pintar, cerdas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; tetapi juga sekaligus menciptakan manusia yang siap menyerap nilai-nilai baru yang melekat pada model pendidikan yang diterimanya, yaitu nilai-nilai budaya Barat. Memang, tidak semua yang datang dari Barat selalu buruk. Banyak nilai yang baik dan bermanfaat untuk pengembangan sumber daya manusia. Namun, tidak sedikit pula nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal, buruk, yang bila diterapkan akan mengubah nilai-nilai lokal, bahkan cenderung menimbulkan kontroversi dan pertentangan yang cukup tajam.

Penetrasi Gaya Hidup

Pengaruh pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat, ditambah pengaruh model pendidikan yang kuat, secara pelan dan pasti juga mengubah pola atau gaya hidup manusia yang ada di negara-negara berkembang. Gaya hidup mereka sudah tak jauh berbeda dengan gaya hidup model manusia Barat. Dari mulai gaya berpikir, bersikap, berperilaku, semuanya menyerupai manusia Barat. Mereka bergaya hidup seperti itu agar disebut sebagai manusia modern, manusia yang mengikuti trend, manusia yang tidak ketinggalan jaman.

Perubahan gaya hidup manusia di negara-negara berkembang, di samping karena pengaruh pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendidikan, juga karena pengaruh media yang sangat kuat. Media, baik cetak, elektronik, maupun multimedia, telah membombardir negara-negara berkembang dengan informasi yang luar biasa derasnya. Media lokal tak cukup hanya memberi informasi lokal, tetapi juga informasi dari luar. Media luar juga dengan leluasa masuk dan menyebar, menjadi sumber informasi yang disenangi.

Informasi yang ditawarkan media sebagian besar adalah informasi produk barang dan jasa, dan nilai budaya. Masyarakat menganggap apa yang berasal dari luar itu baik dan modern, hanya dengan proses pilah dan pilih yang cepat, langsung diterima dengan senang hati. Masyarakat jadi permisif, mudah dan cepat menyerap “barang” baru. Masyarakat menjadi konsumtif, materialistik, dan cenderung hedonistik, mengikuti kampanye gaya hidup model Barat yang gencar ditayangkan oleh media.

Kalau sudah demikian, lalu apa bedanya manusia Indonesia dengan manusia Amerika? Sekarang ini cukup banyak manusia Indonesia setiap pagi sarapan roti dan sereal, sambil membaca economic review atau time, berangkat kerja dengan kemeja berdasi, naik mobil buatan Jepang, Jerman, atau Perancis, mengikuti informasi melalui televisi CNN, NBC, mencari hiburan melalui HBO, Cinemax, atau ngedugem di pub, resto, karaoke, dan mencari teman kencan melalui internet adalah hal rutin yang dilakukan sehari-hari.

Pendek kata, tatanan nilai sosial budaya lokal mulai tergantikan dengan tatanan nilai sosial budaya baru dari luar. Semua itu sedang berproses, dan proses itu menjadikan kondisi anomali atau ketidakmenentuan atau kerancuan masyarakat dalam menerapkan nilai-nilai yang ada. Di satu sisi, nilai-nilai lama (tradisional) masih ada dan dipakai, di sisi lain, nilai-nilai baru (modern/global) mulai masuk, dikenal, dan diterapkan, sehingga muncul dualisme, ambiguitas, kecemasan, kebingungan, yang membentuk manusia lokal tidak jelas identitasnya.

Anti globalisasi

Globalisasi yang membawa pengaruh neo imperialisme (neo kolonialisme), memperoleh kritikan tajam dari banyak pihak. Ternyata tidak semua orang Barat menyetujui dan menerima munculnya globalisasi yang lebih menekankan dominasi Barat terhadap negara-negara berkembang, dengan berbagai implikasi buruknya. Stiglitz (dalam Amin Rais: 2008), misalnya, secara tajam mencerca kebijakan Amerika dengan IMF, World Bank, dan WTO, yang membuat negara-negara berkembang semakin tinggi ketergantungan ekonomi dan politiknya kepada Amerika. Stiglitz menuduh Amerika dengan sengaja “merusak” ekonomi negara-negara berkembang agar Amerika tetap muncul sebagai negara terkaya dan berkuasa di dunia. Ini dilakukan Amerika karena mereka sadar, negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin, adalah negara-negara yang punya potensi tinggi berkembang menjadi raksasa baru ekonomi dan politik, menggantikan posisinya. Itulah sebabnya, dengan segala cara Amerika berusaha agar negara-negara berkembang terus berhutang dan tergantung sepenuhnya kepada mereka.

Banyak negara-negara berkembang sudah mulai sadar akan politik globalisasi Amerika. Di Asia, Jepang mampu melepaskan diri dari bayang-bayang Amerika, hidup mandiri, bahkan berani bersaing dengan Amerika. Malaysia dan Iran, dengan tegas dan berani menyatakan akan berusaha membangun ekonominya secara mandiri, tidak bersedia lagi menerima pinjaman dari IMF dan Bank Dunia. Dari Afghanistan, Osama bin Ladeen, bersama kelompok Al-Qaeedanya, secara frontal menyatakan “perang” dengan Amerika. Di Afrika, Sudan dan Libia, sudah lama mengambil sikap tidak ingin menjadi “pengemis”, meminta-minta bantuan (hutang) kepada Barat. Di Amerika Latin, Bolivia dan Venezuela, dengan ekstrim mengecam dan melakukan kampanye konfrontatif “melawan” kekuasaan Amerika.

Di Indonesia sendiri, penolakan terhadap globalisasi dengan pengaruh buruknya juga muncul di mana-mana. Kelompok pengikut aliran tradisional kuat, dengan gigih mencoba mencegah penetrasi globalisasi, terutama yang dikaitkan dengan perubahan nilai sosial dan budaya. Ada yang melakukan perlawanan dengan santun, melakukan kampanye anti nilai asing, boikot terhadap media asing beserta isinya. Kelompok ini melakukan pilah pilih dengan seleksi media sangat ketat, bahkan ada yang mengharamkan televisi, karena melihat tayangan televisi yang lebih banyak buruknya daripada manfaatnya.

Celakanya, ada pula kelompok lain yang menyikapi perubahan itu dengan sudut pandang yang ekstrim. Dengan alasan menjaga nilai dan moralitas bangsa, kelompok ini menyatakan “perang” melawan nilai dan moral Barat yang dianggap merusak tatanan sosial budaya lokal. Menyebut beberapa contoh, Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempog (FBR), dan kelompok sejenis lainnya, sering melakukan aksi frontal, berseberangan melawan institusi pembawa nilai dan moral Barat itu. Bahkan, beberapa waktu lalu, teror bom kembali terjadi. Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton di Jakarta, dibom oleh kelompok yang, pada dasarnya, tidak menyukai Amerika dengan segala nilai modernitas yang disebarkannya.

Situasi negara-negara berkembang yang serba anomalik, bingung, dan cenderung tidak berdaya itu, nampaknya masih akan terus berlangsung dalam jangka waktu cukup lama. Dominasi negara-negara Barat masih tetap terjadi apabila tidak ada perubahan kebijakan dunia yang datang dari negara-negara Barat itu sendiri (Mowlana: 1986). Selama Barat masih terus menggelontorkan pinjaman baru kepada negara-negara berkembang dengan syarat-syarat yang menekan, sementara negara-negara pengutang itu tidak mempunyai pilihan selain menerima apa pun syarat yang diajukan, maka dominasi itu akan terus berlangsung. Globalisasi sebagai alat untuk menguasai negara-negara berkembang akan terus tetap terjadi, dengan segala implikasi buruknya.

Sebagai salah satu negara berkembang di Asia, Indonesia juga tidak dapat mengelak dari pengaruh globalisasi. Modernisasi yang diperkenalkan kepada rakyat sebagai pembangunan berkelanjutan, ternyata membawa pengaruh yang tidak berbeda dengan yang terjadi di negara-negara lain. Amerika menjadi negara Barat yang menjadi kiblat. Utang Indonesia kepada IMF dan World Bank juga semakin bertumpuk, karena defisit anggaran setiap tahun, lebih sering ditutup dengan menggali utang baru. Emmy Hafid, et.al (2000) menyebut Indonesia sudah sampai pada tahap addicted to loan – ketagihan berhutang. Memang nyatanya Indonesia sudah menggali hutang cukup besar, sekitar US $136 Milyar, dan ini menjadi beban cukup tinggi bagi APBN. Debt Service Ratio untuk cicilan dan bunga telah mencapai 37% dari total APBN (Reihard Hutapea: 2005).

Ekonomi Indonesia yang berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Amerika membuat pemerintah nampak sering ragu-ragu dalam menetapkan kebijakan politik dan ekonomi. Dengan geram Amin Rais (2008) menuding berbagai kebijakan pemerintah lebih mengakomodasi kepentingan Amerika daripada menyejahterakan rakyat.

Demikian pula, tatanan sosial budaya di Indonesia ikut mengalami perubahan cukup cepat mengikuti derasnya arus globalisasi. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang berdasarkan filosofi Pancasila semakin hari semakin dilupakan (Wardjito: 2008). Nilai-nilai baru yang dibawa globalisasi, bebas dan egaliter, sekuler dan hedonistik, lebih menarik dan mulai tampak nyata dipakai sebagai nilai untuk mengukur pola pikir dan pola sikap seseorang.

Perubahan itu sudah terjadi dan terus berlangsung. Dunia berubah menjadi satu desa besar dengan satu budaya. Kalau bangsa Indonesia tidak waspada dan tidak segera mengambil sikap untuk menahan percepatan laju perubahan, terutama perubahan nilai budaya, dikhawatirkan masa depan bangsa Indonesia akan semakin buram, wajah Indonesia semakin tidak jelas bentuknya. Bangsa Indonesia akan kehilangan identitasnya, kehilangan keunikan jatidirinya. Padahal, keunikan jatidiri yang disebut budaya itulah satu-satunya milik kita, kekayaan kita, yang paling berharga hingga saat ini.




REFERENSI

Budihardjo, Eko. (2008): Bali Ndesa Mbangun Desa. Dalam Suara Merdeka: Minggu, 2 November, 2008.

Federspiel, H.M. (1992): Muslim Intellectuals and National Development in Indonesia. New York, NY: Nova Science Publishers, Inc.

Hafid, Emmy, et.al (2000): Addicted to Loan: The World Bank Foot Prints in Indonesia. Jakarta: WALHI

Hutapea, Reinhard. (2005): Dampak Hutang Luar Negeri terhadap Ekonomi Politik Indonesia. Jakarta: Universitas 17 Agustus 1945.

Meyer, W.H. (1988): Transnational Media and Third World Development: The Structure and Impact of Imperialism. New York, NY: Greenwood Press.

Mowlana, H. (1986): Global Information and World Communication: New Frontiers in International Relations. New York, NY: Longman, Inc.

Naisbitt, J. (1982): Megatrends: Ten New Directions Transforming Our Lives. New York, NY: Warner Books.

________; Aburdene, P. (1990): Megatrends 2000: Ten New Directions for the 1990's.New York, NY: Warner Books.

Rais, Amin. (2008): Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK Press.

Schiller, H.I. (1976): Communication and Cultural Domination. New York, NY: M.E. Sharpe, Inc.


Soeharso, Wardjito (1994): National Culture and Their Socio-Political Implications: Media and Cultural Imperialism: The Indonesian Experience. Boston, MA: College of Communication, Boston University Press.

_______________. (2008): Nilai-Nilai Pancasila: Mampukah Menjawab Tantangan Jaman? Semarang: Unpublished.

Toffler, A. (1980): The Third Wave. New York, NY: William Morrow and Co, Inc.