Wednesday, November 25, 2009

Puisi-puisi Wardjito Soeharso

Wardjito Soeharso, lahir di Salatiga, 19 Januari 1958. Sejak kecil suka baca komik dan cerita silat. Ketika kuliah di Fak. Sastra UNDIP, dia mulai aktif menulis puisi dan naskah drama. Puisi-puisinya pernah dibukukan dalam antologi: Mendung Di Atas Kota Semarang (1983), Antologi Puisi Penulismuda (2007), Dan akhir-akhir ini mulai serius menulis buku. Dua buku sudah terbit, yaitu: Yuk! Nulis Puisi dan Yuk, Nulis Artikel (2009). Sehari-hari sibuk bekerja sebagai widyaiswara di Badan Diklat Prov. Jateng.

______________________________________________________________


Puisi-puisi Wardjito Soeharso



MAKAN MALAM


Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 20:00.

Saat keluarga untuk makan malam bersama.

Saya, isteri, dan anak-anak duduk

mengelilingi meja makan, siap menyantap

hidangan yang kelihatannya sangat mengundang selera.


Ada bakul nasi di ujung meja,

mangkuk sup di tengah,

ada pinggan berisi empal daging sapi,

tempe goreng, dan tak ketinggalan

sebuah cobek berisi penuh sambal terasi.

Sementara di ujung meja yang lain,

sekeranjang buah apel segar

begitu menantang.


Di antara buah apel itu,

terselip pisau tajam mengkilap

yang mengingatkan aku

pada berita tentang pembunuhan

di televisi petang tadi.


Tiba-tiba saja selera makan malamku

hilang entah ke mana



HATI SEPI


Mendung

gelap pekat

Langit

akan runtuh


Hujan rintik

gelap sambut malam

sunyi iring sepi


Katak

pun enggan

bernyanyi



KITA SEMUA PEWARIS QOBIL


boleh jadi kita semua adalah pewaris nafsu serakah Qobil

yang dengan tenangnya mampu membunuh Habil,

hanya karena iri dan dengki melihat keberhasilan

saudara sendiri.


boleh jadi darah dingin Q!obil mengalir di tubuh-tubuh kita

sampai kita tega saling tikam hanya karena tak suka melihat

kebahagiaan teman dan tetangga.


boleh jadi jahatnya Qobil merasuk dalam jiwa kita

hingga kita selalu menatap curiga setiap mata

yang melihat ke arah kita.


Habil!

andai kau tak harus mati di tangan saudaramu

aku ingin jadi seorang pewarismu

pemeluk ketulusan

pecinta kejujuran.



SAJAK INDONESIA BERDUKA

Setiap hari kaki berdiri di depanmu,
mulut nyerocos tak henti-henti begini:
"korupsi itu jahat! korupsi itu laknat! korupsi itu budaya, bukan agama!"
setiap hari pula mata dan telingaku menangkap berita di koran dan televisi saudara-saudaramu banyak ditangkapi polisi
karena korupsi!

berita di koran dan televisi, selalu saja membuatku bersedih,
kemana lagi aku menghibur diri?

kalau semua orang sudah berubah jadi pelawak
tertawa ngakak melihat kemiskinan dan kebodohan
topeng yang mana lagi mesti dipasang
untuk tunjukkan kesusahan?

nation character building,
membangun jatidiri bangsa!
waduh! identitas manusia indonesia sekarang kayak apa ya?
ketika aku bercermin, di sana ada gambar
sosok manusia dengan kosmetika globalisme,
baju internasionalisme, dan perilaku hedonisme!
Inilah identitasku saat ini:
Hidup Bangsa Indonesia!

lihat saja para politikus dan birokrat di televisi
lah! apa beda mereka dengan Indonesian idol?
kan sama-sama bertanding
untuk bersuara semerdu mungkin di depan rakyat.
mereka itu kayaknya belum pernah mendengar
kasak-kusuk rakyat yang bunyinya begini:
korupsi di negeri ini
kian hari kian menjadi
apa yang tak ada di negeri ini.
presiden korupsi, ada walau sudah mati
menteri korupsi, banyak yang masih meringkuk di bui
gubernur korupsi, banyak yang belum diadili
bupati dan walikota korupsi, banyak yang masih antri


birokrat dan politisi ramai-ramai korupsi
ditangkap satu
muncul seribu

birokrat dan politisi keparat
rakyat melarat...

berita di koran dan televisi, selalu saja membuatku bersedih,
kemana lagi aku menghibur diri?

berikan aku kacamata hitam itu,
biar kulihat sekelilingku semakin kelam,
mbelgedes telek benjret....
tanpa kacamata hitam pun, ternyata dunia sudah begitu legam,

Aku tidak ingin Indonesia tenggelam.

Srondol, 2 Juli 2009.



Tribute To : WS Rendra (Si Burung Merak)

BURUNG MERAK ITU TERBANG TINGGI

Burung Merak itu terbang tinggi
Mengangkasa menembus awan
Menuju singgasananya
Di surga para pujangga.

Burung Merak itu menjauh pergi
kembali ke dekapan bumi
Menikmati indahnya aroma cinta
Tanah harapan bunda perwira.

Burung Merak itu beri isyarat berpisah
Lambaikan tangan, sunggingkan senyuman
Mata cemerlang, bibir bergumam:
"Selamat tinggal sastrawan-sastrawan muda.
Aku pergi, tak berarti dunia jadi sepi".

Burung Merak itu terus melangkah
Jauh, jauh, jauh....
Tampak tubuhnya menghilang bentuk
Tinggal pendar kerlip cahaya
Dari jauh di depan sana
Bergaung lirih bisik jiwanya:
"Aku Cinta PadaMu, Tuhan".

No comments:

Post a Comment